Pupuklah keyakinan bahwa cepat atau lambat kita semua pasti akan mati. Hal ini penting, karena
dengan modal keyakinan ini memudahkan kita untuk dapat merasakan adanya negeri
akhirat. Selanjutnya kita akan dapat menerima, bahwa tempat kita di negeri
akhirat itu tergantung dari bekal atau pahala yang kita bawa dari dunia.
"Kesadaran" akan hal ini akan dapat memotivasi, bahwa kehidupan di
dunia pada hakikatnya adalah semata-mata arena untuk mengumpulkan pahala, yaitu
dengan jalan taat dan patuh melaksanakan "aturan main" yang
ditentukan Allah dan Rasulullah, yang antara lain: mendirikan shalat, berserah
diri, sabar waktu ditimpa musibah atau sabar waktu diperlakukan zalim oleh
orang, meninggalkan perbantahan sedangkan kita merasa benar, berlaku baik,
menolong orang yang sedang kesusahan, tidak iri hati / dengki, tidak takabur /
sombong, tidak riya atau pamer, membantu dalam pekerjaan keluarga, tidak
menyakiti hati orang dan tidak memutuskan persaudaraan, menjauhkan diri dari
sikap amarah, berlaku bijaksana waktu disakiti orang, selalu memohon ampun bila
terlanjur melakukan pembangkangan, tidak bergunjing atau membicarakan aib
orang, tidak berburuk sangka, tidak berlaku zalim ( baik itu zalim tindakan,
ucapan atau pun pikiran ), selalu senyum, memaafkan orang yang menganiayai
kita, selalu ingat Allah ( di waktu
duduk, berjalan maupun berbaring ), mendamaikan permusuhan, memuliakan tamu,
memenuhi undangan, menjenguk yang sakit, mengajak orang ke jalan Allah,
memenuhi janji, berlaku baik terhadap tetangga, mengeluarkan zakat atau
sedekah, tidak kikir, menjaga kebersihan, mendoakan orang tua, tidak durhaka
kepada orang tua, berlaku lemah lembut kepada pembantu, menghantarkan jenazah,
menuntut ilmu yang bermanfaat, mengamalkan ilmu, menyantuni anak yatim,
bersyukur bila menerima nikmat~ Nya, melaksanakan haji, tidak melakukan syirik,
bekerja, dan lain-lain sebagainya.
Untuk dapat memudahkan taat pada aturan main yang dibuat Allah
dan Rasulullah saw., kita
harus memiliki fundamen-fundamen yang mantap, yaitu berupa
pengertian yang mendalam mengenai konsepsi-konsepsi Allah tentang manusia.
Jangan mengharapkan pengertian ini datang secara instant, karena pengertian ini
hanya akan dikuasai setelah melalui
proses pencarian yang sungguh-sungguh [Al-Israa:19]. Bila kita tidak pernah “menghidupkan” proses ini, maka kita
tidak akan dapat mengerti secara haqul yaqin konsepsi-konsepsi Allah terhadap
manusia. Semakin dini proses ini dihidupkan, maka semakin lengkap dan dalam
pengertian yang akan diperoleh. Oleh karena itu, bila kita mulai menghidupkan
proses ini di usia 60-an misalnya, maka dengan umur yang tersisa, akan sedikit
sekali pengertian yang dapat diperoleh. Dan ini berarti semakin sulit pula kita
dapat taat pada keinginan-keinginan~Nya.
Fakta sejarah menunjukan, potensi mendapatkan “pencerahan”
paling kuat terdapat pada usia muda, bukan pada usia lanjut. Pemeluk dan
pengikut setia para nabi pun pada awalnya adalah para pemuda. Tatkala nabi Musa
as. mengajak kaumnya untuk menyembah Allah, maka hanya para pemuda sajalah yang
mau mengikuti seruannya [Yunus:83]. Begitu juga pada awal Rasulullah saw.
menyampaikan risalah Islamnya, para pemudalah yang lebih dulu menyambutnya.
Pemuda-pemuda itu antara lain Umar bin Khatab, Sa'ad bin Abi Waqash, Mua'dz bin
Jabal, Abdullah bin Mash'ud, Thalhah bin Ubaidilah, Zubair bin Awwam, Ali bin
Abi Thalib, dan lain-lain yang rata-rata baru menginjak usia 20 tahun. Adapun
Abu Bakar Ash-Shiddiq saat itu usianya belum mencapai 40 tahun. Demikian pula
ketika masyarakat keranjingan menyembah berhala, tampil pula pemuda Ibrahim
yang menghancurkan berhala yang mereka sembah [Al-Anbiyaa':60]. Kita pun
mengenal sikap teguh para pemuda yang menentang kompromi antara kebatilan dan
kebenaran dalam kisah para penghuni gua (ashabul kahfi); yang pada akhirnya
mereka ditidurkan Allah selama 309 tahun [Al-Kahfi:25]. Begitu juga para nabi
seperti nabi Muhammad saw., Yusuf as, Isa as., dan lain-lainnya; mereka menjadi
nabi dalam usia muda. Hal ini semua menunjukan bahwa potensi untuk menangkap
“pencerahan” itu boleh jadi paling kuat terdapat pada usia muda, bukan setelah
tua. Sungguh benar ungkapan bijak yang mengatakan, "Bila seseorang telah mencapai usia 40 tahun namun belum juga
tergerak mempelajari Islam, niscaya ia akan mengalami kesulitan yang luar biasa
untuk dapat menjadi Muslim yang baik."
Percuma di dunia
menjadi orang terpandang,
kalau di tempat
tujuan akhir kelak tidak masuk surga!
Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir.Permadi Alibasyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar