Jumat, 18 November 2016

TEMPAT MENCARI PAHALA



Pahala adalah hadiah yang diberikan Allah kepada manusia apabila ia lulus dari ujian yang dihadapinya. Ujian-ujian ini pada dasarnya terletak pada dua jalur, yaitu jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas. Pada kedua jalur ini, Allah dan Rasul~Nya telah menentukan "aturan main" bagaimana manusia harus bersikap. Misalnya saja, dalam jalur hablum-minnallah manusia diwajibkan shalat; dan dalam jalur hablum-minannas manusia diwajibkan berbuat baik terhadap sesamanya. Semua "aturan main" ini tertuang lengkap dalam Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah saw. Lihat lampiran 1 Buku Bahan Renungan Kalbu ( halaman 461 ).
Barangsiapa yang dapat tetap patuh melaksanakan "aturan main" ini, dengan niat semata-mata karena Allah, maka ia disebut orang yang bertaqwa. Dan dia akan memperoleh pahala, yang kelak akan dirasakan kenikmatannya di akhirat nanti. Jadi dengan perkataan lain, ladang tempat mencari pahala itu terletak pada jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas, karena pada dua jalur inilah Allah menguji ketaatan manusia mematuhi aturan-aturan yang di-tentukan~Nya dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Allah melengkapi manusia dengan mata, telinga, dan hati bukan tanpa tujuan. "Perlengkapan" ini merupakan sarana bagi Allah untuk menguji manusia, apakah dalam setiap situasi dan kondisi nyaman atau pun tidak nyaman ia mampu tetap taat mengikuti "aturan main" yang sudah ditetapkan~Nya atau tidak.

 Simaklah baik-baik surat  Al-Insaan:2, 3  berikut :


Sesungguhnya Kami telah men-
ciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya
( dengan perintah dan larangan ), karena itu
Kami jadikan dia mendengar dan melihat.  Sesungguhnya Kami telah menunjukinya
jalan yang lurus, ada yang bersyukur
 dan  ada pula yang kafir.
 Al-Insaan (76):2, 3


Supir ugal-ugalan di jalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega yang picik, atau pun teman yang menyebalkan, ini semua terjadi karena Allah melengkapi kita dengan mata, telinga, dan hati. Oleh karena itu, orang-orang negatif ini harus dipandang sebagai ujian Allah pada jalur hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan tuntunan yang diberikan~Nya melalui Rasul~Nya, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila mereka kita hadapi dengan emosi atau nafsu, maka berarti kita gagal. Hendaklah kita senantiasa mengingat pengalaman para bijak, "Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu."
Dengan demikian, dapatlah dimengerti, bahwa semua masalah, baik itu masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa malas mendirikan shalat), maupun masalah hubungan dengan manusia (misalnya menghadapi orang yang menyebalkan), pada hakikatnya adalah hendak menguji, mampu atau tidak kita bersikap sesuai dengan kehendak Allah dan Rasulullah saw. Bila kita dapat bertindak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Al-Qur'an dan hadits dengan niat  " lillahi ta'ala", maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila masalah itu kita hadapi dengan nafsu, berarti kita gagal. 
Begitulah medan perjalanan yang harus ditempuh manusia dalam menuju surga. Dalam perjalanan itu pasti akan ditemui halangan dan rintangan yang kesemuanya itu merupakan ujian apakah kita mampu mengatasinya atau tidak. Tidak ada seorangpun manusia yang dibiarkan melalui jalan yang tanpa rintangan. Bahkan para kekasih~Nya sendiri, yaitu para nabi-nabi, melewati jalan yang jauh lebih sulit. Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih putranya sendiri; sementara nabi Ayub dimusnahkan seluruh harta kekayaan dan keturunannya, serta terserang penyakit menular yang sangat menjijikan. Sedangkan nabi Muhammad dilempari kotoran unta dan batu serta diboikot perekonomiannya sehingga beliau dan keluarganya serta para pengikutnya mengalami kelaparan yang amat sangat akibat kekurangan bahan makanan. Namun perlu kita ingat, bila ujian-ujian yang ditemui dalam perjalanan ini berhasil diatasi, maka hal itu akan diperhitungkan Allah sebagai amal saleh, yang kelak akan diganjar dengan pahala. Semakin banyak amal saleh yang kita lakukan, maka akan semakin besar pula peluang kita untuk masuk ke dalam surga. Lihatlah penegasan Allah dalam Al-Qur'an berikut ini :
 

Barangsiapa yang mengerjakan amal-
amal saleh baik ia laki-laki maupun perempuan sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka
 itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.
An-Nisaa' (4):124



Dan surga itu diberikan kepada kamu
 berdasarkan amal yang telah kamu kerjakan.
 Az-Zuhruf (43):72



Sesungguhnya orang-orang yang ber-
iman dan beramal saleh, bagi mereka adalah
surga Firdaus menjadi tempat tinggal.  Mereka
kekal di dalamnya, mereka tidak ingin
 berpindah daripadanya.
Al-Kahfi (18):107,108



Dan orang-orang yang beriman
serta beramal saleh, mereka itu penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya.
Al-Baqarah (2):82



Dan orang-orang yang beriman dan me-
ngerjakan amal-amal saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga  .......
 An-Nisaa' (4):57 



Dan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, Kami  tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka
itulah penghuni-penghuni surga, mere-
ka kekal di dalamnya.


Al-A'raaf (7):42  

Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir.Permadi Alibasyah
Gambar: www.pixabay.com

Kamis, 03 November 2016

TUJUAN HIDUP



Setelah kita memahami apa yang akhirnya akan dituju oleh setiap manusia, serta "kualitas" berasal dari suatu proses, maka yang perlu kita ketahui selanjutnya adalah, apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia. Kesadaran ini sangat penting. Karena seseorang yang tidak mengetahui untuk apa tujuan hidupnya, maka pastilah ia tidak mengerti siapakah dirinya itu, dan dari mana ia berasal. Akibatnya, ia akan melangkah ke arah yang keliru.


Sebagaimana telah diuraikan, kehidupan di alam dunia sesungguhnya adalah awal kehidupan bagi manusia. Dan awal kehidupan ini sangat penting, karena bukankah awal yang baik akan membuahkan hasil akhir yang baik pula?


Selanjutnya, dengan memperhatikan firman-firman Allah yang telah dikutip sebelum ini, jelaslah bahwa tujuan hidup manusia di dunia, pada hakikatnya adalah untuk mencari / mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Tingkat manusia di akhirat nanti, akan ditentukan oleh sedikit banyaknya bekal yang dibawa dari dunia. Semakin banyak bekalnya, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemuliaannya. Apakah yang dimaksud dengan bekal itu? Jika untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat kita harus berbekal pendidikan yang cukup, maka untuk mencapai kedudukan tinggi di akhirat nanti, yang kita perlukan adalah pahala.


Dengan demikian dapatlah dikatakan, kehidupan di alam dunia ini adalah arena untuk mengumpulkan pahala bagi kehidupan akhirat. Semakin banyak pahala yang berhasil kita raih, maka semakin tinggi pula tingkat kita kelak. 




Abdullah bin Abbas berkata :

"Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan dunia terdiri atas
 tiga bagian; sebagian bagi mukminin, sebagian bagi
orang munafik, sebagian bagi orang kafir. 
Maka orang mukmin menyiapkan perbekalan, 
orang munafik menjadikannya perhiasan, 
dan orang kafir 
menjadikannya tempat bersenang-senang."


Sumber : Buku Bahan Renungan Kalbu Ir. Permadi Alibasyah
Gambar : www.pixabay.com